Monthly Archives: September 2013

KASUS SEMBURAN LUMPUR PANAS LAPINDO BRANTAS DITINJAU DARI ETIKA BISNIS DAN LINGKUNGAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.  LATAR BELAKANG MASALAH

Bencana lumpur Lapindo yakni peristiwa yang ramai dibahas dan diperbincangkan publik karena masalahnya yang berlarut-larut ini merupakan buah dari eksplorasi gas yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Semburan awal lumpur panas ini terjadi pada tanggal 29 Mei 2006. Akibatnya, kawasan, pemukiman, pertanian dan perindustrian di wilayah Porong Sidoarjo lumpuh total. Pusat semburan lumpur panas berjarak 150 meter dari pusat pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Peristiwa ini terjadi karena kesalahan PT. Lapindo Brantas yang tidak menjalankan prosedur dalam melakukan pengeboran gas yang terletak di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat dari kesalahan yang dilakukan PT Lapindo, menimbulkan meluapnya lumpur panas dari dalam perut bumi. Banyak sekali pendapat dari para peneliti dan para ahli yang berbeda, mulai dari penyebab utama terjadinya peristiwa banjir lumpur panas ini karena bencana alam, kesalahan perhitungan dari PT Lapindo Brantas sendiri, bahkan sampai ada yang menyebutkan bahwa penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Peristiwa banjir lumpur ini menenggelamkan 16 desa di tiga kecamatan, 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Sekitar 30 pabrik lumpuh total karena terendam banjir lumpur panas sehingga tidak dapat beroperasi. Akibat ini sebanyak 1.873 tenaga kerja mengalami PHK dari perusahaan tersebut. Dan masih banyak lagi dampak yang terjadi pada beberapa sektor yang lain.

Hal ini tentu merupakan hal yang sangat serius karena telah berdampak buruk dalam areal yang cukup luas. Oleh sebab itu penulis ingin mengulas dan membahas kasus lumpur panas Lapindo Brantas ini dalam bentuk makalah yang kemudian ditinjau dari etika bisnis dan lingkungan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Adapun didalam penulisan makalah ini, penyusun menemukan beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Apa yang menjadi penyebab utama terjadinya semburan lumpur panas tersebut?
  2. Bagaimana pihak Lapindo menanggulangi masalah tersebut?
  3. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut?
  4. Bagaimana sudut pandang dari etika lingkungan terhadap peristiwa lumpur Lapindo?

1.3. TUJUAN

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah :

  1. Mengetahui penyebab utama terjadinya semburan lumpur panas tersebut.
  2. Mengetahui tindakan yang dilakukan PT Lapindo setelah terjadi peristiwa ini.
  3. Mengetahui apakah ada motif lain yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini.
  4. Mengetahui, mengambil dan mempelajari nilai-nilai etika yang terdapat dalam peristiwa “Lumpur Lapindo di Sidoarjo” ini.

1.4. MANFAAT PEMBUATAN MAKALAH

Adapun pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Dapat digunakan sebagai sumbangan bagi dunia Ilmu Pengetahuan dalam menjelaskan materi yang berkaitan dengan masalah-masalah lingkungan, khususnya di Indonesia.
  2. Menjadi sumber pengetahuan bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang peristiwa “Lumpur Lapindo di Sidoarjo”.
  3. Sekaligus makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Etika Profesi.

 

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.      KRONOLOGI PERISTIWA

Secara konsep kebijakan pembangunan negara sudah memuat faktor kelestarian lingkungan sebagai hal yang utama dan mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya, terjadi kekeliruan orientasi kebijakan dimana pemerintah cenderung mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang ada dengan sedikit mengesampingkan perlindungan yang memadai sehingga hal ini dimanfaatkan oleh para perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi gas maupun minyak bumi sebagai usaha memperluas dan mendapatkan hasil yang lebih besar. Lemahnya implementasi di bidang hukum  terjadi juga dalam pelaksanaan pengawasan pelestarian lingkungan hidup. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dalam implementasinya hanya merupakan kebijakan yang bersifat sementara atau sesaat saja. Akibat dari cacatnya hukum dan kebijakan-kebijakan yang ada, kini berdampak buruk bagi masyarakat yang menjadi korban. Menurut penjelasan dari wikipedia, pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki). Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan. (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo). Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi(jalur raya pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi, Indonesia. Selain perusakan lingkungan, dampak sosial banjir lumpur panas ini tidak bisa dipandang lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi mulai mengemuka.

2.2.      UPAYA PENANGGULANGAN YANG DILAKUKAN

Pihak PT Lapindo Brantas sendiri telah mencoba berbagai macam upaya untuk menghentikan semburan lumpur panas ini, baik untuk menanggulangi rumah yang terendam banjir, membuat snubbing unit, (suatu sistem peralatan bertenaga hidrolik yang umumnya digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan dalam sebuah sumur yang sudah ada.), melakukan pengeboran miring(sidetracking), membuat tiga sumur baru (relief well), namun upaya-upaya tersebut gagal total.

Sekarang hanya terdapat 2 pilihan,

Pilihan pertama, meneruskan upaya penanganan lumpur di lokasi dengan membangun waduk-waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang sudah ada sekarang.

Pilihan kedua, membuang langsung lumpur panas tersebut ke Kali atau sungai Porong, Sebagai tempat penampungan lumpur, Kali Porong memang telah tersedia tanpa perlu digali dan memiliki potensi volume yang cukup besar untuk menampung kiriman lumpur panas tersebut.

KEPUTUSAN PEMERINTAH

Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.

 

BAB III

PEMBAHASAN DITINJAU DARI ETIKA BISNIS

DAN LINGKUNGAN 

3.1. ULASAN DARI SISI ETIKA BISNIS

Kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyebab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo mulai berdalih dan seakan enggan untuk bertanggung jawab.

Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.

Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.

Hal yang sama juga dikemukakan miliuner Jon M. Huntsman, 2005 dalam bukunya yang berjudul Winners Never Cheat. Dimana ia mengatakan bahwa kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.

Tidak hanya itu, dalam sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical

Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.

Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabaian etika dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri, lingkungan sekitar, alam, dan sosial.

3.2. ULASAN DARI SUDUT PANDANG ETIKA LINGKUNGAN

Eksplorasi secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan keamanan dan keselamatan, terutama lingkungan hidup sekitar yang telah dilakukan PT Lapindo Brantas ini dinilai sangat tidak beretika. Dimana demi mendapatkan sumber daya alam dalam jumlah banyak ditambah untuk menghemat pengeluaran yang seharusnya dikeluarkan sesuai prosedur yang berlaku, kini menimbulkan dampak buruk dan sangat parah terhadap masyarakat.

Bagaimanapun juga tindakan PT Lapindo jika ditinjau dari segi etika lingkungan sangat tidak bertanggung jawab dan justru terkesan mengabaikannya.

BAB IV

PENUTUP

3.3. KESIMPULAN

Dari peristiwa mengenai kasus semburan lumpur panas Lapindo Brantas ini dapat disimpulkan bahwa kasus ini sampai sekarang masih belum bisa ditangani dengan tuntas dan telah berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Peran pemeritah dalam menindaklanjuti kasus ini juga terkesan berlarut-larut dan tidak dapat memberikan jaminan bagi para korban sehingga masyarakat yang menjadi korban merasa mendapat kepastian dan ketenangan. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi kasus ini namun tidak berhasil dengan baik. Upaya pemerintah untuk membuang semburan lumpur panas ini ke sungai Porong juga dinilai masyarakat tidak mempertimbangkan etika lingkungan yang ada.

3.4. SARAN

3.4.1.  PENULIS DAN PENELITI SELANJUTNYA

Untuk para penulis dan peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih detail menyampaikan, menyajikan dan mengungkap kasus ini dari sudut pandang etika yang lain.

3.4.2.  PIHAK-PIHAK YANG BERSANGKUTAN (Pemerintah, Masyarakat, Peusahaan)

Untuk PT Lapindo Brantas sendiri, diharapkan dapat segera menuntaskan kasus ini secepat-cepatnya dan sebaik mungkin mengingat telat berlarut-larutnya masalah ini mengembang di permukaan. Hal ini dirasa perlu untuk mengurangi opini-opini negatif dari publik.

Bagi pemerintah diharapkan dapat lebih konsisten dalam menerapkan segala kebijakan yang sudah berlaku demi kesejahteraan masyarakat.

Dan untuk masyarakat khususnya yang menjadi korban dari kasus ini, diharapkan dapat mulai mencari alternatif-alternatif lain untuk mulai membuka usaha baru sambil menunggu janji ganti rugi yang dijanjikan baik oleh PT Lapindo Brantas maupun pemerintah dan tetap bekerja sama dengan pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://underground-paper.blogspot.com/2012/02/makalah-etika-bisnis-pt-lapindo.html

http://kesmasuh.blogspot.com/2013/05/makalah-etika-bisnis-kasus-pt-lapindo.html

http://biruhitam17.blogspot.com/2011/11/pelanggaran-etika-bisnis-lumpur-panas.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo

http://www.anneahira.com/artikel-bencana-lumpur-lapindo.htm

http://riapuspitasari108002.blogspot.com/2012/01/lumpur-lapindo-sidoarjo-makalah.html